Clara Muslimah

“Ayah ibu, Clara mohon ijin kuliah.” Seperti biasa aku pamitan pada ayah ibu setiap berangkat kuliah. Dan selalu saja ayah ibu menasehati. “ Hati-hati nak banyak doa, jangan terpengaruh hal yang buruk”. Kadang ayah suka setengah bercanda mengingatkan,”dan jangan pacaran ya!”

 Aku wanita yang berjilbab. Dikeluargaku “pacaran” hal yang tabu. Ayah selalu nasehat, “ Nak sudah dari ‘sananya’ kita disukakan dengan lawan jenis. Tak usah ragu engkau suka kepada siapapun, atau ada yang suka padamu, katakan saja pada ayah, pasti ayah lancarkan”, begitu ayah meyakinkan kami.
Ayah bekerja di suatu BUMN ibu juga bekerja di perusahaan Negara yang lain. Kedua sama sibuknya. Aku punya kakak laki-laki kuliah sudah hampir selesai; mas Bambang aku memanggilnya ,sebagai saudara yang tertua dari kami tiga bersaudara. Adikku perempuan Nisa, sekolah sambil mondok dan kini sudah dirumah, akan siap siap ingin menjadi psikolog. Aku sendiri mengambil bidang kesekretarisan. Hampir semua sibuk , dirumah dibantu oleh bik Yoso sebagai pembantu rumah tangga.
Jarang sekali bertemu ayah ibu mengingat kesibukan masing masing. Kadang kadang hari sabtu minggu ada yang tidak hadir dirumah. Kalau tidak ayah, pasti ibu, atau salah satu diantara kami. Makanya kalau ada moment moment tertentu bisa kumpul, ayah suka menyempat nyempatkan menasehati kami. Ayah Ibu sangat khawatir tentang pergaulan anak anak muda jaman sekarang. Terutama kepadaku dan mas Bambang. Sebenarnya aku dan kakakku sependapat. Tapi begitulah, benar keadaannya apa yang dikatakan ayah, lingkungan itu bisa menggerus keimanan kita dan membentuk perangai baru.


Awalnya biasa biasa saja, Niko sebenarnya kawan sepengajianku begitulah, selalu mengajak ngobrol. Kadang aku risih , karena banyak teman teman memperhatikan. Ada yang memandang aneh, ada seperti pandangan cemburu. Niko memang ganteng di “komunitasku”, sarjana ,sudah kerja, keluarga berada. Tidak heran cewek cewek lain juga seperti menguber dia. Aduh aku tak suka ini, apalagi sampai dilihat ayah ibu atau kakak atau adik. Bisa salah paham. Tapi terus saja dia menemuiku,  ada saja sebagai bahannya yang agar bisa bicara padaku, setiap kali berjumpa.


Bahkan suatu hari, tidak kusangka dia berani datang ke kampus, alasannya menemaniku sambil menunggu angkot buat pulang, takut ada orang iseng katanya. Aku tetap saja menjaga jarak. Kalau duduk di angkot aku cepat cepat lebih dulu berusaha duduk ditengah tengah antara wanita. Padahal dia punya motor, dia punya mobil. Tapi perlu-perlunya dia keluar kantor langsung nongkrong di kampusku, memang kantornya tidak terlalu jauh dari kampusku. Kadang aku pernah tercetus, “sampai kapan kamu begini terus, kalau dilihat teman, ayahku atau ayahmu apa jadinya, kan bisa salah paham”, kataku. Dia cuek saja, “memang mengawal sesama saudara dosa?”, katanya dengan yakin.

Beberapa bulan lagi aku akan selesai mengambil D3 Sekretarisku. Kali ini aku tak melihat Niko, ketika aku keluar kampus  pulang kuliah. Aku tenang karena tidak ada beban. Alangkah terperanjatnya aku, ketika sampai dipinggir jalan , sebuah sedan merah menghampiriku. Ternyata Mas Niko. Ayuk katanya. “ Kemana?,  gak ah”, aku ketakutan tak karuan. “ Itu sama papa saya , ngajak makan”. “ Sudah sore , nanti ayah saya dirumah kecarian”, ujarku.“ Yaaa, temui dulu dong bapak saya”. Aku terpaksa menurut menemui bapaknya. “ Oh Bapak , maaf pak ibu mungkin sudah menunggu dirumah”. Maksudku ibuku. “ Sebentar saja nak, melepaskan niat, kita makan direstoran seberang itu”, katanya. Antara menerapkan budi luhur dan takzim ke orang yang tua; membuatku tak berdaya, salah tingkah. Niko sudah membukakan pintu belakang buatku. Direstoran tidak lama , sebab aku gelisah tidak biasa seperti ini. Mereka juga mungkin menyadarinya. Hanya ngobrol berbasa basi, tapi kulihat bapaknya Niko terus terus mengamati aku. Aku di drop di mulut jalan ke rumahku, atas permintaanku. Sambil turun, aku lihat kiri lihat kanan seperti pencuri perasaanku, malu dilihat kalau ada teman……. 


Suatu pagi minggu ada pengajian para remaja. Ramainya bukan main. Semua pada hadir, termasuk mas Bambang , yang biasanya dia tak hadir alasan sibuk. Entah bagaimana ceritanya, dia berdiri saja dimuka pintu pager pekarangan masjid, seperti menunggu seseorang.Benar saja, tak lama sedan merah masuk, dan kemudian diikutinya. Wah aku firasat tak enak. Karena aku kenal kakakku, ahli bela diri, pembela teman. Sekali kepret tamatlah lawannya. Niko keluar  dari pintu mobil, dia ga ngeh kalau diikuti mas Bambang. “assalamualaikum”, mas menyapa.” Waalaikumsalam, wah mas Bambang, apa kabar”. Kulihat tangannya merangkul pundak Niko, membawa
kepinggir pager masjid.“Begini Niko saya perlu crosscheck”. “ Apa Mas Bambang”. “Begini, Saya mendengar berita-berita tak enak dari beberapa teman, tentang kamu dan adik saya, dari pada ngrasani dan sangka jelek itukan dosa, saya perlu Tanya langsung“ Bambang berhenti sebentar melihat reaksi Niko. “ Tentang apa Mas”. “ Tidak, begini, hubungan kamu dengan adik saya, banyak dibicarakan teman teman, ada yang lihat, kalian berduaan”. “ Maksud mas Bambang?”, Niko seperti purapura tak mengerti.“ Ya seperti itu, maksudnya, kita langsung saja, bila Niko ada niat baik kepada adik saya, kita ambil jalan lurus saja, kita atur, kita tidak menghalang2i kok. Tapi kalau mau buat main-main saya tidak suka!”. “ Ah, gak mas, saya ga ada niat apa apa kepada adik mas, kebetulan saja bertemu diangkot pulang searah kan!” Niko membantah. “ Hati2 Niko Tuhan tidak pernah tidur, kita teman, dan itu adik saya”. Taka da apa-apa, bener”, Niko tetap tidak  ngaku.“ Ok lah kalau tak ada apa-apa. Cuma itu saja kok, thanks Alhamdulillah jzkh.” Bambang menegaskan lalu beranjak, keduanya kearah masjid.


Telah lebih dari sebulan ayah dinas luar kota terus, kali ini ada dirumah ,rupanya beliau mengambil cuti beberapa hari karena  kelelahan.  Buat refreshing barangkali, pakai Kijang ayah jalan, sengaja melewati kampusku, barangkali mau sekalian. Pada hal Niko lagi2 menemui aku.Kami berdua  duduk ditembok dengan maksud menunggu  angkot. Tapi angkotnya sudah beberapa lewat, kami belum juga naik, Niko ngoceh terus. Ayahku melihat kami berdua, sedangkan kami tidak melihat, karena Niko nyecerocos terus, sedang aku tunduk. Ayahku yang tadinya mau menjemput, membantalkan niat langsung pulang. Bak peribahasa untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Sepandai pandai tupai melompat sekali kali jatuh juga.

Tak menunggu lama habis syolat Isya “pengadilan pun dibuka”.
Ayah, ibu, Bambang Nisa juga ada. “ Clara, nak”, ayah mulai membuka “ sidang”. “ Ayah melihat kamu berduaan dengan Niko tadi di kampusmu. Sebenarnya apa yang terjadi dengan kalian, ayah mau nyamper kamu, tapi melihat begitu,hati ayah keburu serasa terbakar, ada apa kok begitu?” “ Iya Ayah”. “ Kita kan sudah janji, urusan seperti itu jangan sembunyi-sembunyi. Kalau kalian saling suka terus terang tidak dihalangi, tapi akan dikawal dilancarkan. Ketika laki perempuan berduaan, pasti yang ketiga syaitan. Bahaya besar!” . Kamu paham itu!” ayah menegaskan, tanpa memberi kesempatan aku bicara. 


Tanpa ayal lagi Bambang bangun, “ biar saya hajar dia ayah, sekarang, benar saja dia bohong ke saya” spontan dengan suara keras bangun menuju pintu keluar dengan tangan baju digulung. Langsung ibu teriak,” Bambang, Bambang, nak, nak sabar , sabar,” Ibu menarik lengan Bambang, menggeletar “ sabar  Clara saja belum menjelaskan”.
Sambil menangis aku cerita bahwa Niko sudah lama seperti itu, kuteruskan , “Tapi Clara mau cerita takut
menjadi salah paham, ayah”. “Dia bilang apa sama kamu, kalau ketemuan seperti itu”, ayah tanya dengan kesel.

“Dia tak pernah menyatakan suka pada saya dan sayapun tak pernah tanya apapun padanya”.” Lantas apa maunya, mengganggu begitu ?” “ Ya, Bahkan Clara sudah sampaikan betapa malu kalau dilihat teman bisa salah paham. Sampai kapan mas Niko mau begini terus. Tidak itu saja ayah ibu,  ayahnya sendiri sudah tiga kali mengajak makan di restoran terdekat”. “ Ayahnya!?” ayah ,ibu, Bambang hampir serempak, setengah kaget tak percaya.” Terus ngapaian aja?” Bambang nyeletuk.” “Ada apa pikiran bapak dan anak itu?”, ayah bergumam.

“ Ya makan begitu aja, tapi tidak ada tanya ini itu atau cerita apa .”Begitu kuceritakan semuanya tanpa ada yang kututup-tutupi.  Ayah tanya,” kapan wisudamu?

“Sebentar lagi ayah sekitar dua bulan lagi”.

“Begini , semua saja ya!, ayah minta perhatian pada kalian.“Ini urusan ayah ambil alih. Bambang tidak boleh berbuat apa apa kecuali ayah suruh. Ayah akan menemui ayahnya Niko secepatnya menyelesaikan masalah ini. Kamu Clara harus toat dengan putusan  ayah.” “ Dengar Clara?”, iya ayah”, jawabku, rasanya tenggorokan ku kering, dengan air mataku mengalir terus, rasa malu tak menentu.” Bambang luangkan waktu  dan Nisa juga bantu bergantian menemani pulang Clara dari kuliah, selama dua bulan ini saja.Bisa?! ayah bertanya tapi maksa. Keduanya mau apa lagi, semua takut pada ayah. “ InsyaAllah, ayah” Bambang dan Nisa berbarengan.

“Ibu usahakan pulang lebih cepat tepat waktu, bisa meringankan anak anak. Sambil soal ini jelas,kita lihat apa maunya; paham semua?!” ayah menegaskan. “ Iya , Insya Allah, tapi kita masingmasing ibu minta sangka baik dulu dan  berdoa minta yang terbaik pada Allah”, Ibu sambil mengusap air matanya. Ayah ngedumam tak jelas, ya mengucapkan taawudj, ya istigfar, ya masyaAllah, tak jelas. Kelihatan tak puas, kesel, merasa kecolongan, merasa tak berguna sebagai ayah, tak bisa menjaga anak…entahlah apa dipikirannya…


Tak pakai lama ayah menelpon bapaknya Niko ingin silaturahim malam minggu ini. “ Assalamualaikum, dengan bapaknya Niko?” “ Iya, Saya Rakhmat,  Bapaknya Bambang”. “ Pak Dendi, sudah lama ga ketemu , kangen,  kepengin silaturahim kerumah bapak malam minggu ini. Bapak ada acara enggak ya?“ Bisa Pak?” Iya baik saya berdua saja,  Insya Allah dengan Ibunya anak anak”. “ Alhamdulillah jazaakallahu khoiro pak!, amiin” Assalamualaikum”. ……………………………….
Malam minggu itu serasa datang begitu cepat. Sementara ayah mungkin serasa lama. Tapi apapun itu, firasatku mengatakan aku tak suka ini. Ayah sudah berangkat, dirumah aku  bersama mas Bambang  dan Nisa.   ………………………………………………………
Setelah berbasa basi, pak Rakhmat menyampaikan tujuannya. “Begini pa Dendi, kita sama sama sepengajian, tahu hukum. Ini mengenai hubungan anak kita”, pak Rakhmat menceritakan apa yang disampaikan Clara padanya, ke pa Dendi. “ Itu betul!” , jawab pak Dendi. “ Niko minta saya menilai pilihannya, dan memang saya sudah dua atau tiga kali makan bersama dengan putri bapak. Terus  terang saya cocok dengan pilihan Niko, Cuma saja saya masih mengumpul ngumpul, kalau terwujud”. “Pak Dendi begini, saya tidak tahu perasaan Clara, tapi kesan saya, mungkin dia tidak akan menolak kalau betul kita mau besanan”. Pak Rakhmat berhenti sebentar sambil melihat istrinya, kemudian, “ menurut saya kita resmikan saja secara sederhana. Kita sama sibuk tidak bisa mengawal anak anak kita. Masalah cukup atau tidak itukan relative. Tapi kita kan tahu “ carilah kekayaan lewat nikah”. Mudah mudahan bila sudah resmi hidupnya mendatangkan kebarokahan, dari pada ditunda tunda tapi dalam pelanggaran”, pak Rakhmat menegaskan. “ Wah saya sependapat dengan bapak kalau begitu, ya kan bu?”, pak Dendi mengungkapkan perasaannya sambil minta persetujuan istrinya. Sebelumnya pa Dendi seperti ada beban di air-mukanya, ada kesan malu, segan, berat terhadap pak Rakhmat.


Hari itu seisi keluarga merasa ceria terutama aku, karena hari wisudaku telah tiba. Ayah Ibu tidak ke kantor karena  memerlukan mengikuti acara wisudaku. Aku senang luar biasa, karena aku lulus dengan predikat Cum Laude, padahal hanya jenjang D3, sak-bodoh berkata aku dalam hatiku. Memang acara wisuda lama sekali, tampak ayah
ibu ngobrol dengan teman sebelah mengisi waktu.  Hari itu kami pulang sudah siang berfoto sana sini, setelah mampir dulu di restoran. Lelah bukan main...





Sabtu pagi ayah berpesan supaya malam nanti  semua ada di rumah . Mas Bambang di telpon supaya pulang, Nisa acara yang biasa supaya minta ijin, katanya mau ada tamu... Ibu kayaknya repot mempersiapkan segala sesuatu menyambut tamu. Kami jarang menerima tamu.



Benar saja , sorenya tamu yang dimaksud sudah datang. Tak lain pa Dendi beserta ibu dan mas Niko. Rupanya Ayah merahasakan pada kami tamu yang akan datang. “Assalamualaikum”. “Waalaikumsalam”, ayah menjawab. “ Silakan masuk pa Dendi”, terdengar suara ayah menyambut dan mempersilakan tamunya masuk. Hatiku terkesiap mendengar suara ayah. Aku masih di kamar. Satu persatu kami muncul ikut menyambut tamu. Terasa kekakuan diantara kami, maklumlah memang dua keluarga ini belum familier ditambah lagi ada kasusku. Ayah mulai berbasa basi memecah kekakuan. Sementara mas Niko mendekat ke sebelah mas Bambang terus mengajak ke teras. Belakangan aku tahu kalau mas Niko minta maaf ke mas Bambang atas pernyataan nya pada waktu di parkir mesjid tempo hari.  

“ Mas mohon maaf, dulu di parkir mesjid saya bicara seperti itu, sebenarnya saya takut tidak diterima. Takut ditolak sama keluarga mas. Makanya waktu saya rahasiakan Sekarang sejak kedatangan orang tua mas kerumah, semua sudah terbuka, bagaimanapun saya salah”. ‘ Ah sudahlah , yang lalu biarkan. Tapi sebenarnya kalau iya, kita mau melancarkan, agar tidak terjadi apa-apa. Ayo sudah, kita masuk  lagi”.



Beberapa bulan kemudian aku resmi jadi istri mas Niko. Kami seperti orang baru berpacaran saja. Kami keluyuran kemana-mana. Silaturahim ke sanak saudara pihak ku dan pihak mas Niko. Aku punya famili di Medan, di Sumbawa di Banyuwangi. Sedang mas Niko ada di Padang dan ada di Palembang. Semua kami kunjungi.  Dunia ini terasa seperti  hanya milik kami berdua.
Betapa “meriahnya” dua keluarga mendengar aku sudah mengandung. Segala macam saran rekomendasi untuk menjaga kandunganku datang dari berbagai pihak. Mas Niko hati hati menjagaku, pokoknya seperti aku diperlakukan layaknya seorang ratu. Telpon selalu berdering kalau tidak dari Ayah ibu tentu dari keluarga mas Niko. Menanyakan kabar, kesehatan, terus
menasehatiku. Aku yang tadinya mau bekerja setelah wisuda tidak terwujud. Semua menolak tidak setuju. “ Kapan kapan sajalah, gampang nanti; Belajar mengurus keluarga dulu”. Memang kemesraan dengan mas Niko tak terbayang sebelumnya, hari hari yang kulalui penuh dengan kasih sayang dan rasa bahagia yang berlimpah, diluar angan anganku.

Suatu malam, mas Niko merasa sakit dibagian belakangnya. Tapi katanya tak apa apa , nanti setelah makan obat , terus tidur pasti sembuh. Benar saja , paginya kelihatan mas Niko kelihatan segar siap ke kantor lagi. Kejadian ini kuceritakan ke ayah ibu dan juga ke orang tuanya mas Niko. Tapi semua nya menjawab menghiburku, tak apa-apa kata kata mereka. Aku tinggal disebelah di paviliun rumah orang tua mas Niko kira kira begitu.

Saatnya aku melahirkan benih cinta kasih kami. Dua keluarga “geger” mengurusku. Lelah loyo sirna melihat simungil putih halus seperti sutra. Klimaks kebahagian yang kami rasakan. Luar Biasa, Allah Maha Besar. Suara azan Mas Niko yang serak diiringi airmatanya melegkapi kebahagiaan ini. Ya Tuhan semoga engkau mengekalkan kebahagiaan ini.

Suasana meriah dirumah luar biasa. Semua wajah berseri menyambut keberadaan si mungil. Tak henti-hentinya mengalir cerita kelucuan sibayi dar semua orang yang menjenguknya. Alhamdulillah ya Allah , betapa  senangnya karuniamu ini....



Seperti biasa  Mas Niko berangkat kantor, kali ini terus menerus dia seperti tak mau pisah dengan sang baru dua bulan Mungil memandangi ayahnya senyum tak henti hentinya. “Sudah Mas nanti terlambat”, kataku. “ “Sebentar, ngangeni kalau pas di kantor”, jawab mas Niko, dengan berat hati akhirnya mas Niko berangkat juga.



Tak seorangpun tau apa yang terjadi besok, tak seorangpun tahu dimana dia akan berakhir, demikian salah satu firman Allah.

Seperti suara petir  disiang bolong, telpon  berdering dari kantor, kalau mas Niko di rawat dirumah sakit. Tulang tulangku serasa lepas dari dagingnya, aku tak berdaya.
Semua anggota keluarga kaget. Di rumah sakit mas Niko diruang ICU belum sadar. Apa pokok perkaranya tak seorang mengerti. Dokter hanya meminta sabar akan melihat hasil lab dan segala rekam medis. Semua berdoa mengharap kesembuhan . Besoknya mas Niko sudah dipindah keruangan. Aku tak diberi tahu penyakitnya. Ternyata ditubuh mas Niko ada tumor ganas yang sudah melebar menyerang paru dan jantung, tapi tak pernah dirasakan. Setelah tiga hari mas Niko sadar . Matanya liar mencari cari Aku ada disitu, dia berusaha senyum tawakkal, “titip si mungil” katanya lirih. “ Mas ucapkan lailahaillallah” Dia mengikuti “ lailahaillallah..” , terus tak sadar lagi , atau... aku teriak memanggil dokter....
Nyonya sabar, kita sudah berusaha tapi yang "diatas" menentukan lain...

Langit serasa runtuh, seketika aku terkulai. Selanjutnya aku tak tahu lagi....
Mas Niko tercinta telah meninggalkanku bersama benih cinta kami yang baru berumur dua bulan. Aku seperti tidak meginjak diatas bumi. Dunia ini gelap dan sempit, tak ada orang yang bisa menggantikan posisinya bagiku. Bagaimana kasih sayangnya padaku. Bagaimana lemah lembutnya dia membuaiku, pengertian, perhatian yang tumpah. Ya Tuhan benamkanlah cinta suamiku ini dalam jiwaku, betapa dia tulus dan sayang dan cinta padaku. Tetapi mengapa kau ambil demikian cepat, ditengah aku belum mengerti kewajiban ayah dan ibu. Kearifan ayah ibu sama sekali tak menyentuh diri ini, seolah tak terdengar bujuk rayu menasehati diriku dalam ketulusan.
Ketika malam Mas Niko serasa menghampiriku. Sehingga aku serasa meraung berteriak ,”Mas Niko, jangan biarkan aku sendiri,  kemana saja bawa aku, aku tak mampu sendiri”. Seluruh anggota keluarga geger, datang menghampiriku. Malam malam berikut kurasa Mas Niko mengetuk pintu pulang kerja, aku bangun berlari, minta maaf lambat membuka pintu. Karuan saja lagi-lagi anggota keluarga menangkap aku. “ Nak sadar, ini ayah, sadar”, Mas Niko ayah, pulang kerja , mengetuk pintu,”” Tidak sayang, Mas Niko sudah tak ada. Mas Niko sudah berhasil, sudah menyelesaikan tugasnya di dunia, dia ada 
di surga. Tinggal kita disini, harus menyelesaikan tugas kita. Kalau kau ingin bersamanya, ramutlah Eka sehingga dia menjadi anak yang solih. Sabar Nak, semua orang akan kembali keharibaan Illahi”. Aku terkulai pingsan. Samar-samar kudengan ayat suci Alquran ditelingaku. Kepalaku, muka ku terasa dingin. Mungkin ketika aku pingsan aku disiram air sambil ada yang berdoa dan membaca ayat-ayat suci Alquran. Aku menatap kosong ke langi-langit tak berdaya. Membuat seisi rumah kebingungan. Menggoyang goyang tubuhku. Mulutku tak bisa kugerakkan. Aku lupa lagi, diriku dimana lagi. Ketika sadar dalam rongga perutku seolah ada tetes embun . Perlahan kubuka mataku.” Aku dimana”. Ternyata ada dokter disebelahku, ayahku,ibuku… Kulihat tanganku diinfus, sudah berhari aku tak ingat makan dan minum….Seketika aku terngat si kecil. oh kasihan bayiku, nasibmu malang nak… Dokter menasehati diriku, guru spritualku menasehati aku, ayah ibu yang kucintai… Aku ingat, aku mencari bayiku yang malang… Kurangkul sejadi jadinya dengan airmata yang tak bisa dibendung ini. Maafkan ibu, Doakan ibu nak..kuatkan…kuatkan ya Allah…Allaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaahh hati ini….
Kadang aku ingin matahari ini cepat kembali besok. Siangnya aku mengharap dia kembali menghilang cepat.. Bunga mawar yang selalu berbaik memberikan warna dan keharuman disamping tempat aku duduk, seperti terkulai menangisi keadaanku. Kurangkul bayiku dipagi itu Kemana aku bawa diri ini. Ya Tuhan kau tahu dimana aku ,kau tahu  keadaanku..TAMAT